Popular post

Headlines News :
Iranian President Mahmoud Ahmadinejad will seek support from Latin America's leftist leaders on a tour starting....... Read Full Post
1 2 3 4 5 6

Random Post

Mahasiswa Univa yang Hilang di Danau Toba Belum Ditemukan

Written By Unknown on Senin, 28 Oktober 2013 | 21.15

Mahasiswa Univa yang Hilang di Danau Toba Belum Ditemukan


Samosir. Jenazah seorang mahasiswa asal perguruan tinggi swasta Universitas Alwashliya (Univa) Medan, Fadlan Batubara (20), yang tenggelam di perairan Tomok, Simanindo, Danau Toba, Samosir, hingga Senin (28/10), belum ditemukan.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Purnamawan Malau, mengatakan saat ini tim SAR Medan, Satuan Polisi Air Parapat dibantu BPBD Samosir terus berupaya melakukan pencarian korban hilang.

"Pencarian korban akan dilanjutkan hari Selasa (29/10)," ujar Purnamawan Malau. Pencarian masih dilakukan di sekitar titik lokasi ketiga mahasiswa melompat ke Danau Toba. Ia lalu merinci kronologi peristiwa itu.

"Awalnya, tiga mahasiswa Univa Medan, Fadlan Batubara (20) yang merupakan warga Dolok Masihol, dikabarkan hilang. Sementara Alif (20) warga Tanjungbalai berhasil selamat bersama Restu (20) warga Medan," katanya. Kejadian itu terjadi Sabtu, (26/10) sekira jam 24.00 WIB.

Saat itu, kata dia, kapal yang ditumpangi Fadlan bersama rekan-rekannya akan tiba di dermaga Tomok dengan jarak sekitar lima puluh meter. Ketiganya pun saling tantang siapa yang bakal lebih cepat berenang. Namun akibatnya, satu mahasiswa hilang.

Kapolres Samosir AKBP Andry Setiawan, membenarkan kejadian satu orang hilang adalah adalah rombongan mahasiswa dari Kampus Alwashliyah Medan.

Sementara itu, salah seorang dosen FKIP Univa yang ikut rombongan, Endi Marshal Dalimunthe, menjelaskan ada 64 mahasiswa yang ikut rombongan dalam kapal itu. Mereka baru selesai mengikuti malam inagurasi di Parapat. Rencananya, hari ini mereka akan pulang ke Medan setelah berkunjung ke Tomok. "Mereka baru mengikuti malam inagurasi, dan kami akan pulang ke Medan setelah dari Tomok," tutur Endi Marshal Dalimunthe.

Ulos Batak Menjadi Lambang Festival Danau Toba 2014

Written By Unknown on Senin, 23 September 2013 | 13.50

Ulos Batak Menjadi Lambang Festival Danau Toba 2014

Ulos Batak akan dijadikan sebagai ikon pada Festival Danau Toba 2014 oleh Pemkab Toba Samosir yang ditunjuk Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menjadi tuan rumah pelaksanaan festival budaya yang akan deselenggarakan sekitar Juni 2014.

"Kami mengandalkan Ulos Batak menjadi ikon pada pelaksanaan pesta rakyat yang akan diselenggarakan pada Juni atau Juli bertepatan dengan hari libur sekolah," ujar Bupati Toba Samosir, Kasmin Simanjuntak di Balige, Minggu (22/9/2013).

Bahkan, menurut Kasmin, pihaknya merencanakan pembuatan ulos terpanjang yang disain dan ukuran detailnya masih dalam pengkajian.

Bagi suku Batak, Ulos tidak hanya berfungsi sebagai lambang penghangat dan kasih sayang, melainkan juga sebagai lambang kedudukan, lambang komunikasi, dan lambang solidaritas.

Tenun ikat Batak itu memiliki fungsi simbolik yang tidak dapat dipisahkan dalam aspek kehidupan orang Batak dengan berbagai jenis serta motifnya yang menggambarkan makna tersendiri.

Kasmin mengaku, sebenarnya pihaknya belum sanggup melaksanakan agenda nasional berskala internasional tersebut. Tapi, karena mendapat dukungan dari sesepuh masyarakat Batak, TB Silalahi, akhirnya penunjukan sebagai penyelenggara dalam FDT 2014 diterima oleh Pemkab Toba Samosir.

"Wamenparekraf Sapta Nirwandar menunjuk Pemkab Toba Samosir menjadi tuan rumah pada pelaksanaan FDT 2014," ujarnya.

Dengan adanya penunjukan tersebut, menurut Kasmin, pihaknya langsung bergerak cepat untuk mempersiapkan festival, termasuk melakukan koordinasi dengan Kementerian Pemuda dan Olahraga.

Menteri Pemuda dan Olahraga Roy Suryo, kata Kasmin, akan mengucurkan dana sekitar Rp 20 miliar, yang akan digunakan Pemerintah setempat membangun infrastruktur serta sarana dan prasarana olahraga. "Kami akan bangun dua tribun, dan salah satunya di Lapangan Sisingamangaraja Balige, sementara untuk dana lainnya akan dicarikan dari pihak sponsor," katanya.

Selain menyiapkan tim, lanjut Kasmin, pihaknya juga telah mempersiapkan waktu pelaksanaan festival tersebut yakni medio Juni hingga Juli, bertepatan dengan libur sekolah,  salah satu tujuannya untuk mendorong hadirnya masyarakat pada festival tersebut.

Untuk menyemarakkan kegiatan olahraga, kabupaten yang terletak di bagian tengah Provinsi Sumatera Utara itu akan mengandalkan arung jeram menyusuri sungai Asahan, karena objek wisata olahraga tersebut sudah mulai dikenal hingga tingkat internasional.

Kasmin menegaskan, hingga saat ini sudah banyak turis yang mencoba arung jeram di Asahan, sehingga lokasi tersebut akan diandalkan dalam pelaksanaan festival.

"Guna memenuhi akomodasi, sejumlah hotel telah dipersiapkan bagi tamu lokal maupun pengunjung asing, sementara infrastruktur jalan, sarana dan prasarana lainnya akan terus diperbaiki," tambah Kasmin.
nationalgeographic.co.id

Juara kembar di paralayang Festival Danau Toba

Written By Unknown on Senin, 16 September 2013 | 02.05

Juara kembar di paralayang Festival Danau Toba


Pulau Samosir (ANTARA News) - Persaingan menuju peringkat perdana nomor ketepatan mendarat senior paralayang di Festival Danau Toba 2013 menghasilkan juara kembar, Wahyu Yudha dan Jhoni Effendi, yang sama-sama meraih nilai 26.

Hasil dari panitia pelaksana yang diperoleh Sabtu, di Pulau Samosir, Sumatera Utara, menyatakan, Yudha meraih angka ketepatan 12 pada peluncuran pertama, kemudian tujuh, lima, dan dua. Tiap pilot berhak menempuh empat kali upaya peluncuran penerbangan.

Sementara Effendi meraih angka tiga, sembilan, lima, dan sembilan.

Peringkat ketiga nomor ketepatan mendarat senior diperoleh pilot Thomas Widiananto dari Jawa Tengah, dengan angka 33.

Nomor ketepatan mendarat senior paralayang pada Festival Danau Toba 2013 tidak membedakan antara pilot laki-laki dan perempuan.

"Bagus juga ada kategori untuk putri karena perempuan pilot yang ikut cukup banyak," kata perempuan pilot paralayang senior Indonesia, Lis Andriana, salah satu peserta yang turut berlomba.

Sementara itu, Aris Afriansyah dari Jawa Barat menempati urutan pertama untuk kategori junior, dia menghasilkan nilai 53 dari empat kali peluncuran. Setelah dia, menyusul Indira Lesmana dari DKI Jaya dengan nilai 78, dan Umar Suparman (Jawa Barat) yang beroleh nilai 97. 

Prinsip ketepatan alias akurasi mendarat sangat sederhana, kaki pilot diusahakan menginjak titik pusat sensor pendaratan elektronik yang merekam data pendaratan secara digital di meja pengawas dan juri lomba.

"Jadi selain teknik terbang dan manuver, teknik menjejakkan kaki di titik sasaran yang sangat kecil itu juga penting. Ini tantangannya," kata salah satu peserta.

Aturan dan prosedur pelaksanaan lomba internasional memperebutkan total hadiah uang sebanyak Rp225 juta ini mengacu pada aturan induk organisasi paralayang internasional, Federation L'Aeronotique de Internationale.

Danau Toba Dibahas Dalam Sosialiasi UU Nomor 12 Tahun 2011

Written By Unknown on Kamis, 12 September 2013 | 06.41

Danau Toba Dibahas Dalam Sosialiasi UU Nomor 12 Tahun 2011

Rencana Pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Tata Ruang Danau Toba yang kini sedang dalam tahap pembahasan harus turut melibatkan masyarakat sekitar.

Pengaturan tata ruang Danau Toba sebagai kawasan strategis nasional
membutuhkan banyak masukan dari publik, pemerintah daerah, dan para pemangku kepentingan di tujuh kabupaten seputar objek wisata itu.

“Jadi perlu hiring dengan warga sekitar Danau Toba, masyarakat harus dilibatkan,” kata anggota DPR, Ali Wongso Sinaga dari Fraksi Partai Golkar, pada acara Workshop, Sosialisasi Undang-Undang  nomor 12 tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang diselenggarakan Badan Legislasi DPR RI, di Medan, Kamis (12/9).

Hadir sebagai pembicara pada kegiatan sehari itu, dari akademisi dengan moderator Nurul Arifin yang juga anggota DPR RI. Sebagai waakil rakyat asal daerah pemilihan Sumatera Utara, Ali Wongso merasa penting untuk mengingatkan tentang aturan tata ruang kawasan strategis nasional, Danau Toba yang akan dibuat dalam bentuk Perpres tersebut agar senantiasa melibatkan masyarakat.

Sebagaimana diketahui terdapat tujuh kabupaten di sekeliling kawasan Danau Toba, yakni Simalungun, Toba Samosir, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Dairi, Karo, dan Samosir.

Acara sosialisasi itu dibuka secara resmi Wakil Ketua Baleg DPR RI Achmad Dimyati Natakusumah bertujuan untuk  menyebarluaskan dan memberikan informasi kepada masyarakat terkait dengan UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Dia menyebutkan bahwa proses penyusunan Peraturan Daerah (Perda) harus selalu didasari dengan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.  Setiap Perda yang akan dibentuk juga tidak diperbolehkan bertentangan dengan Perundang-Undangan diatasnya. “UU Nomor 12 Tahun 2011 yang sedang disosialisasikan ini yang menjadi salah satu acuan dalam pembentukan Peraturan Daerah (Perda),” katanya.

Menurutnya, jangan sampai ada diskriminasi dalam penyusunannya sehingga menimbulkan rasa ketidakadilan pada masyarakat. “Intinya peran masyarakat harus tetap ada karena ini konsekwensi demokrasi,”ujarnya.

Namun dalam kesempatan itu salah seorang peserta yang hadir mengungkapkan meskipun Perda maupun Perpres terlahir setelah melalui uji proses dari kajian akademisi. Namun terkadang kajian tersebut sering berdasarkan pesanan. Sehingga begitu banyak peraturan yang akhirnya terpaksa harus dibatalkan, bahkan pembatalan hanya dilakukan oleh Mendagri dan bukan oleh presiden.(beritasore.com)

Sepenggal Sejarah

Written By Unknown on Rabu, 11 September 2013 | 11.53

Sepenggal Sejarah


Batak merupakan salah satu suku bangsa yang ada di Indonesia. Nama ini merupakan sebuah terma kolektif untuk mengindentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari Tapanuli, Sumatera Timur dan di Sumatera Utara. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak adalah Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola dan Batak Mandailing. Mayoritas orang batak menganut agama Kristen dan sisanya beragama Islam. Tetapi ada juga yang menganut agama Malim dan juga menganut kepercayaan Animisme (disebut juga sipelebegu atau parbegu), penganut kedua kepercayaan ini saat ini sudah semakin berkurang. Berikut ini mari kita simak Sejarah  Suku Batak

Sejarah Suku Batak

Orang Batak adalah penutur bahasa Austronesia  namun tidak diketahui kapan nenek moyang orang Batak pertama kali bermukim di Tapanuli dan Sumatera Timur. Bahasa dan bukti-bukti arkeologi menunjukkan bahwa orang yang berbahasa Austronesia dari Taiwan telah berpindah ke wilayah Filipina dan Indonesia sekitar 2.500 tahun lalu, yaitu di zaman batu muda (Neolitikum). Karena hingga sekarang belum ada artefak Neolitikum (Zaman Batu Muda) yang ditemukan di wilayah Batak maka dapat diduga bahwa nenek moyang Batak baru bermigrasi ke Sumatera Utara di zaman logam. Pada abad ke-6, pedagang-pedagang Tamil asal India mendirikan kota dagang Barus, di pesisir barat Sumatera Utara. Mereka berdagang kapur Barus yang diusahakan oleh petani-petani di pedalaman. Kapur Barus dari tanah Batak bermutu tinggi sehingga menjadi salah satu komoditas ekspor di samping kemenyan. Pada abad ke-10, Barus diserang oleh Sriwijaya. Hal ini menyebabkan terusirnya pedagang-pedagang Tamil dari pesisir Sumatera. Pada masa-masa berikutnya, perdagangan kapur Barus mulai banyak dikuasai oleh pedagang Minangkabau yang mendirikan koloni di pesisir barat dan timur Sumatera Utara. Koloni-koloni mereka terbentang dari Barus, Sorkam, hingga Natal.

Identitas Batak

R.W Liddle mengatakan, bahwa sebelum abad ke-20 di Sumatera bagian utara tidak terdapat kelompok etnis sebagai satuan sosial yang koheren. Menurutnya sampai abad ke-19, interaksi sosial di daerah itu hanya terbatas pada hubungan antar individu, antar kelompok kekerabatan, atau antar kampung. Dan hampir tidak ada kesadaran untuk menjadi bagian dari satuan-satuan sosial dan politik yang lebih besar. Pendapat lain mengemukakan, bahwa munculnya kesadaran mengenai sebuah keluarga besar Batak baru terjadi pada zaman kolonial. Dalam disertasinya J. Pardede mengemukakan bahwa istilah "Tanah Batak" dan "rakyat Batak" diciptakan oleh pihak asing. Sebaliknya, Siti Omas Manurung, seorang istri dari putra pendeta Batak Toba menyatakan, bahwa sebelum kedatangan Belanda, semua orang baik karo maupun Simalungun mengakui dirinya sebagai Batak, dan Belandalah yang telah membuat terpisahnya kelompok-kelompok tersebut. Sebuah mitos yang memiliki berbagai macam versi menyatakan, bahwa Pusuk Buhit, salah satu puncak di barat Danau Toba, adalah tempat "kelahiran" bangsa Batak. Selain itu mitos-mitos tersebut juga menyatakan bahwa nenek moyang orang Batak berasal dari Samosir.

Terbentuknya masyarakat Batak yang tersusun dari berbagai macam marga, sebagian disebabkan karena adanya migrasi keluarga-keluarga dari wilayah lain di Sumatra. Penelitian penting tentang tradisi Karo dilakukan oleh J.H Neumann, berdasarkan sastra lisan dan transkripsi dua naskah setempat, yaitu Pustaka Kembaren dan Pustaka Ginting. Menurut Pustaka Kembaren, daerah asal marga Kembaren dari Pagaruyung di Minangkabau. Orang Tamil diperkirakan juga menjadi unsur pembentuk masyarakat Karo. Hal ini terlihat dari banyaknya nama marga Karo yang diturunkan dari Bahasa Tamil. Orang-orang Tamil yang menjadi pedagang di pantai barat, lari ke pedalaman Sumatera akibat serangan pasukan Minangkabau yang datang pada abad ke-14 untuk menguasai Barus.

Misionaris Kristen

Pada tahun 1824, dua misionaris Baptist asal Inggris, Richard Burton dan Nathaniel Ward berjalan kaki dari Sibolga menuju pedalaman Batak. Setelah tiga hari berjalan, mereka sampai di dataran tinggi Silindung dan menetap selama dua minggu di pedalaman. Dari penjelajahan ini, mereka melakukan observasi dan pengamatan langsung atas kehidupan masyarakat Batak. Pada tahun 1834, kegiatan ini diikuti oleh Henry Lyman dan Samuel Munson dari Dewan Komisaris Amerika untuk Misi Luar Negeri.

Pada tahun 1850, Dewan Injil Belanda menugaskan Herman Neubronner Van der Tuuk untuk menerbitkan buku tata bahasa dan kamus bahasa Batak - Belanda. Hal ini bertujuan untuk memudahkan misi-misi kelompok Kristen - Belanda dan Jerman berbicara dengan masyarakat Toba dan Simalungun yang menjadi sasaran pengkristenan mereka.

Misionaris pertama asal Jerman tiba di lembah sekitar Danau Toba pada tahun 1861, dan sebuah misi pengkristenan dijalankan pada tahun 1881 oleh Dr. Ludwig Ingwer Nommensen. Kitab Perjanjian Baru untuk pertama kalinya diterjemahkan ke bahasa Batak Toba oleh Nommensen pada tahun 1869 dan penerjemahan Kitab Perjanjian Lama diselesaikan oleh P. H. Johannsen pada tahun 1891. Teks terjemahan tersebut dicetak dalam huruf latin di Medan pada tahun 1893. Menurut H. O. Voorma, terjemahan ini tidak mudah dibaca, agak kaku, dan terdengar aneh dalam bahasa Batak.

Masyarakat Toba dan Karo menyerap agama Kristen dengan cepat, dan pada awal abad ke-20 telah menjadikan Kristen sebagai identitas budaya. Pada masa ini merupakan periode kebangkitan kolonialisme Hindia Belanda, dimana banyak orang Batak sudah tidak melakukan perlawanan lagi dengan pemerintahan kolonial. Perlawanan secara gerilya yang dilakukan oleh orang-orang Batak Toba berakhir pada tahun 1907, setelah pemimpin kharismatik mereka, Sisingamangaraja XII wafat.

Gereja HKBP
Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) telah berdiri di Balige pada bulan September 1917. Pada akhir tahun 1920-an, sebuah sekolah perawat memberikan pelatihan perawatan kepada bidan-bidan disana. Kemudian pada tahun 1941, Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) didirikan. 

Salam Khas Batak

Tiap puak Batak memiliki salam khasnya masing masing. Meskipun suku Batak terkenal dengan salam Horasnya, namun masih ada dua salam lagi yang kurang populer di masyarakat yakni Mejuah juah dan Njuah juah. Horas sendiri masih memiliki penyebutan masing masing berdasarkan puak yang menggunakannya

1. Pakpak “Njuah-juah Mo Banta Karina!”
2. Karo “Mejuah-juah Kita Krina!”
3. Toba “Horas Jala Gabe Ma Di Hita Saluhutna!”
4. Simalungun “Horas banta Haganupan, Salam Habonaran Do Bona!”
5. Mandailing dan Angkola “Horas Tondi Madingin Pir Ma Tondi Matogu, Sayur Matua Bulung!”

Kekerabatan

Kekerabatan adalah menyangkut hubungan hukum antar orang dalam pergaulan hidup. Ada dua bentuk kekerabatan bagi suku Batak, yakni berdasarkan garis keturunan (genealogi) dan berdasarkan sosiologis, sementara kekerabatan teritorial tidak ada.

Bentuk kekerabatan berdasarkan garis keturunan (genealogi) terlihat dari silsilah marga mulai dari Si Raja Batak, dimana semua suku bangsa Batak memiliki marga. Sedangkan kekerabatan berdasarkan sosiologis terjadi melalui perjanjian (padan antar marga tertentu) maupun karena perkawinan. Dalam tradisi Batak, yang menjadi kesatuan Adat adalah ikatan sedarah dalam marga, kemudian Marga. Artinya misalnya Harahap, kesatuan adatnya adalah Marga Harahap vs Marga lainnya. Berhubung bahwa Adat Batak/Tradisi Batak sifatnya dinamis yang seringkali disesuaikan dengan waktu dan tempat berpengaruh terhadap perbedaan corak tradisi antar daerah.

Adanya falsafah dalam perumpamaan dalam bahasa Batak Toba yang berbunyi: Jonok dongan partubu jonokan do dongan parhundul. merupakan suatu filosofi agar kita senantiasa menjaga hubungan baik dengan tetangga, karena merekalah teman terdekat. Namun dalam pelaksanaan adat, yang pertama dicari adalah yang satu marga, walaupun pada dasarnya tetangga tidak boleh dilupakan dalam pelaksanaan Adat.

Falsafah dan Sistem Kemasyarakatan  

Masyarakat Batak memiliki falsafah, azas sekaligus sebagai struktur dan sistem dalam kemasyarakatannya yakni yang dalam Bahasa Batak Toba disebut Dalihan na Tolu. Berikut penyebutan Dalihan Natolu menurut keenam puan batak:

1. Dalihan Na Tolu (Toba) 
• Somba Marhula-hula 
• Manat Mardongan Tubu 
• Elek Marboru

2. Dalian Na Tolu (Mandailing dan Angkola)
• Hormat Marmora
• Manat Markahanggi 
• Elek Maranak Boru

3. Tolu Sahundulan (Simalungun) 
• Martondong Ningon Hormat, Sombah 
• Marsanina Ningon Pakkei, Manat 
• Marboru Ningon Elek, Pakkei

4. Rakut Sitelu (Karo) 
• Nembah Man Kalimbubu 
• Mehamat Man Sembuyak 
• Nami-nami Man Anak Beru

5. Daliken Sitelu (Pakpak) 
• Sembah Merkula-kula 
• Manat Merdengan Tubuh 
• Elek Marberru

Namun bukan berarti ada kasta dalam sistem kekerabatan Batak. Sistem kekerabatan Dalihan na Tolu adalah bersifat kontekstual. Sesuai konteksnya, semua masyarakat Batak pasti pernah menjadi Hulahula, juga sebagai Dongan Tubu, juga sebagai Boru. Jadi setiap orang harus menempatkan posisinya secara kontekstual.

Sehingga dalam tata kekerabatan, semua orang Batak harus berperilaku 'raja'. Raja dalam tata kekerabatan Batak bukan berarti orang yang berkuasa, tetapi orang yang berperilaku baik sesuai dengan tata krama dalam sistem kekerabatan Batak. Maka dalam setiap pembicaraan adat selalu disebut Raja ni Hulahula, Raja no Dongan Tubu dan Raja ni Boru.

Kontroversi

Sebagian orang Karo, Angkola, dan Mandailing tidak menyebut dirinya sebagai bagian dari suku Batak. Wacana itu muncul disebabkan karena pada umumnya kategori "Batak" dipandang rendah oleh bangsa-bangsa lain. Selain itu, perbedaan agama juga menyebabkan sebagian orang Tapanuli tidak ingin disebut sebagai Batak. Di pesisir timur laut Sumatera, khususnya di Kota Medan, perpecahan ini sangat terasa. Terutama dalam hal pemilihan pemimpin politik dan perebutan sumber-sumber ekonomi. Sumber lainnya menyatakan kata Batak ini berasal dari rencana Gubernur Jenderal Raffles yang membuat etnik Kristen yang berada antara Kesultanan Aceh dan Kerajaan Islam Minangkabau, di wilayah Barus Pedalaman, yang dinamakan Batak. Generalisasi kata Batak terhadap etnik Mandailing (Angkola) dan Karo, umumnya tak dapat diterima oleh keturunan asli wilayah itu. Demikian juga di Angkola, yang terdapat banyak pengungsi muslim yang berasal dari wilayah sekitar Danau Toba dan Samosir, akibat pelaksanaan dari pembuatan afdeeling Bataklanden oleh pemerintah Hindia Belanda, yang melarang penduduk muslim bermukim di wilayah tersebut.

Konflik terbesar adalah pertentangan antara masyarakat bagian utara Tapanuli dengan selatan Tapanuli, mengenai identitas Batak dan Mandailing. Bagian utara menuntut identitas Batak untuk sebagain besar penduduk Tapanuli, bahkan juga wilayah-wilayah di luarnya. Sedangkan bagian selatan menolak identitas Batak, dengan bertumpu pada unsur-unsur budaya dan sumber-sumber dari Barat. Penolakan masyarakat Mandailing yang tidak ingin disebut sebagai bagian dari etnis Batak, sempat mencuat ke permukaan dalam Kasus Syarikat Tapanuli (1919-1922), Kasus Pekuburan Sungai Mati (1922), dan Kasus Pembentukan Propinsi Tapanuli (2008-2009).

Dalam sensus penduduk tahun 1930 dan 2000, pemerintah mengklasifikasikan Simalungun, Karo, Toba, Mandailing, Pakpak dan Angkola sebagai etnis Batak. (wikimedia.org)


Diberdayakan oleh Blogger.

Sejarah

Health

World News

Kategori

Random Post

Recent News

Entertainmet

Entertainment

World News

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Berita Danau Toba - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website Inspired Wordpress Hack
Proudly powered by Blogger